I don't Own any of these Images...I just found them on the web.

Berita SATU Media
Powered by Conduit Mobile

Follow

Seperti Edelweiss

                                       Seperti Edelweiss
                                                ( Irmia Fitriyah )

Kumenerawang seluruh ruangan. Aaah...kamar ini masih seperti dulu. Tempat tidurku masih terletak di pojok kiri. Poster Rolling Stones masih saja menempel di pintu kamar. Meja belajar yang tak pernah kugunakan itu juga masih tetap berdiri di samping tempat tidurku. Bahkan bunga itu masih saja di letakkan di irisan botol Aqua yang ditaruh di atas meja belajarku.
Kupandangi Edelweiss itu dengan mata berkaca - kaca. Banyak kenangan yang tersimpan di dalamnya, dan aku tak sanggup untuk melupakannya.
Kubuka kembali album - album foto yang sudah dipenuhi dengan debu. Sudah lama benda ini tak kusentuh. Aku memang tak ingin mengingat masa - masa itu lagi,terlalu menyesakkan dada.
Kupandangi wajah - wajah yang menghiasi album fotoku. Aku, Ari, Doni dan Bian tengah berangkul - rangkulan sambil tersenyum senang. Padahal di bawah kami menganga kawah Raung yang lebar, tapi kami tetap saja merasa tenang, walaupun baru saja kami dengar kawah itu telah menelan seorang korban beberapa minggu sebelum kedatangan kami.
Kualihkan pandanganku pada foto lainnya, aku berdiri gagah di hamparan pasir yang luas. Aku masih ingat waktu itu udara begitu dingin di puncak Mahameru. Tapi masih saja aku bisa berdiri dengan gagah tanpa memakai pelindung dan penutup kepala.
Aku tersentak ketika kudengar ada suara ribut di luar kamarku. Aku berdiri diam di samping pintu kamar. Ternyata mama lagi marah - marah, aku hampir tak percaya ketika kulihat Tari adikku menenteng ransel besar di pundaknya.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar pertengkaran mereka. Mama rupanya masih menyinggung - nyinggung aku, mama benar - benar tak ingin peristiwa yang menimpa diriku terulang pada Tari.
Tapi Tari tak ingin mengecewakanku, ia berusaha mati - matian untuk meyakinkan mama. Aku masih ingat dulu waktu aku masih duduk di bangku SMA, setiap kali aku pulang mendaki, Tari yang waktu itu itu duduk di kelas 2 SMP selalu menyambutku di depan pintu gerbang. Senyumannya mampu menghilangkan rasa lelahku.
"Mas, nanti kalau aku sudah SMA aku ingin kaya Mas!" ucapnya mantap. Aku cuma mengusap - usap kepalanya,ternyata sekarang apa yang dikatakannya benar - benar ia lakukan, ia mengikuti jejakku, ia benar - benar tak ingin mengecewakanku, ia menepati janjinya.
"Ayolah, Ma........!"  rengek Tari seperti anak kecil, aku hanya tersenyum. Ia selalu begitu jika menginginkan sesuatu. "Mama jangan kuatir, Tari kan ga pergi sendiri, tapi dengan rombongan, 20 orang Ma...!".
" Tari, Mama ga ingin peristiwa Mas Rere terulang lagi, mama ga akan sanggup kalau peristiwa itu terulang lagi", mama terisak - isak,lalu Tari memeluk mama erat. 
Ma, peristiwa itu ga akan terulang lagi, percaya deh ama Tari"...Tari tersenyum.
Aku tak sanggup melihat adegan itu, aku langsung masuk ke kamar. Kubuka kaca jendela yang kelihatannya sudah lama tak pernah dibuka, kupandangi sebuah rumah yang ada di depanku, rumah itu masih seperti yang dulu. Masih saja bercat putih dan masih banyak kucing yang berkeliaran disana.
Tiba - tiba mataku terbelalak ketika kulihat sesosok tubuh di atas kursi roda sedang memberi makan kucing - kucing itu. Seketika kupanggil namanya, tapi kuurungkan niat itu. Dia tak akan pernah mendengarku.
Bian...cuma dia yang bernasib baik, walaupun dia kini cacat. Ari dan Doni tubuhnya tak pernah ditemukan, mereka seakan lenyap begitu saja.
Semuanya berakhir buruk hanya karena kami memetik setangkai bunga yang seharusnya kamibiarkan saja tumbuh liar di hutan.
Aku masih ingat peristiwa itu......Udara begitu dingin, kabut tebal yang menyeliputi membuatku hanya bisa memandang samar - samar, aku masih di samping Bian yang sedang tak sadarkan diri karena ia jatuh terguling - guling ketika menuruni jalan tanah yang sangat licin.
Pikiranku melayang pada Ari dan Doni yang belum kembali juga, waktu itu kupikir mereka telah melupakan kami berdua atau mungkin mereka sudah bisa bersenang - senang di bawah sana.
Aku sudah tak sanggup lagi berjalan bahkan aku sudah tak ingat lagi sudah berapa lama kami disana. Yang kuingat hanya Tuhan, dan aku menyesal disaat - saat terakhir ini aku baru merasakan Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan.
Hanya dengan membaca kalimat - kalimat suci aku akan bisa merasakan kehangatan dan ketentraman dalam hatiku. Walaupun sebenarnya aku merasa tak sanggup lagi untuk bertahan waktu itu. Air mataku menetes tatkala kuingat pesan Kepala Desa kepada kami, dia telah mengingatkan kami untuk tidak mengambil bunga yang berwarna merah di hutan.
Tapi kami tidak mengindahkan pesannya. Kami petik bunga itu, dan........... tiba - tiba saja kami mendengar suara bergemuruh......kami kebingungan.....tak sanggup lari, kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Berlari - lari kami mencoba mencari jalan keluar, tapi sia - sia saja, kami terperosok dalam gelapnya hutan....bekal makanan kami sudah tak berbekas, terpaksa kami harus mengisi perut dengan mengunyah daun - daunan yang ada disitu, walaupun sebenarnya kami tak sanggup menelannya.
Kami harus bertahan ! kami tak ingin melihat ada tangis yang membasahi wajah - wajah yang mengharapkan kedatangan kami.
Kami terus bertahan dan bertahan. Kami yakin bantuan akan datang, siang dan malam terus menanti, kami mencoba untuk menghibur diri, kami buat lelucon walaupun dengan suara yang tertahan karena menahan tangis....
Kesabaran kamipun berakhir lenyap, kami putuskan harus ada yang cari bantuan, apalagi melihat keadaan Bian yang sangat kritis,kami tak ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Bian.
Masih terbayang di benakku ketika Ari dan Doni mulai bersiap mencari bantuan, mereka menatapku dengan pandangan sendu.Mereka tak tega meninggalkanku bersama Bian yang tak sadarkan diri dalam gelapnya hutan, Ari dan doni hanya bisa berpelukan dan meneteskan air mata saat itu.
" Don, simpan ini yah !" kuberikan sebuah kalung perak pemberian Tari adikku, ini adalah kalung keberuntungaku.
Doni menggenggam kalung itu dan kemudian memakainya.
" Ari, ini tuk kamu !" kuberikan padanya scarf ungu yang warnanya sudah lusuh. " Mudah - mudahan kalian berhasil ".
Sejak kepergian mereka, semua terasa lain. Hanya aku sendiri tanpa ada teman untuk berbagi, hanya ada perasaan takut dalam hatiku, takut seandainya Bian pergi tiba - tiba.... atau aku yang pergi....
Ya...udara memang benar - benar dingin untuk membuat kaku seseorang, berminggu- minggu bahkan berbulan - bulan aku mencoba untuk bertahan, sering aku menangis sendirian, teringat wajah mama, wajah papa dan wajah Tari. Mungkin mereka sudah memperingati 7 hariku atau 40 hariku.....aahhh...aku tak tau....
Sampai hari itu tiba, hari yang harusnya kusambut dengan gembira...samar - samar kulihat beberapa orang berteriak - teriak sambil menunjuk ke arahku, kemudian mereka memeriksa keadaanku dan mengangkat aku ke atas tandu.
Entahlah tiba - tiba saja aku menyebut nama Ari dan Doni berkali - kali dengan bibir yang sudah terasa kelu, mereka sepertinya tahu apa yang coba aku jelaskan.
Tapi ternyata jawaban yang aku terima sungguh menyakitkan, aku tak sanggup menahan air mataku dan aku juga tak tau harus bagaimana menjelaskan kepada orang tua Ari dan Doni? Haruskah aku katakan aku benar - benar menyesal????
Ari dan Doni tidak seperti perkiraanku sebelumnya, mereka tidak bersenang - senang di bawah sana. Nasib mereka jauh lebih buruk, mereka tidak ditemukan....????
Dan Bian...ia masih menutup matanya, aku berharap ia akan membuka matanya, aku tak ingin hidup jika semuanya harus pergi meninggalkanku, aku tak akan sanggup melihat tangis keluarga mereka
Akhirnya aku tak tahan lagi untuk terus bertahan, mataku tertutup perlahan. Aku melihat sesosok bayangan putih menghampiriku, aku tak bisa berbuat apa - apa lagi, hanya kalimat suci itu yang sanggup aku ucapkan...
Aku memandangi tubuhku yang terbujur kaku, kulihat di sekelilingku semuanya menangis, terlebih - lebih Tari, ia tak mau beranjak sedikitpun dari tubuhku yang kaku, tak tega aku melihat semua ini. Mereka seharusnya tidak menangis, itu akan membuatku tidak rela pergi meninggalkan mereka.....
Lamunan masa laluku buyar ketika kudengar suara seseorang yang sepertinya kukenal....
" Aduh, Tari ikut jejak Mas nya", ucap mama penuh kekhawatiran...
ga apa - apa tante, ga usah trauma dengan peristiwa Rere, semuanya sekarang lebih bagus kok...
Aku hanya menatap tak percaya pada sesosok anak muda yang bertubuh tegap itu, dan kalung itu....ia masih memakainya...aku sungguh tak percaya....
Doni...ternyata dia masih hidup,itu benar - benar keajaiban. Padahal ia tetap dinyatakan hilang bersama Ari. Dan kini aku semakin tak percaya tatkala aku melihat seorang anak muda mendorong kursi roda Bian masuk ke kamarku....dia masih seperti yang dulu, tak sedikitpun yang berubah.
Mereka berdiri di hadapanku, mereka seakan - akan tahu aku ada disitu...
" Re...kami sudah lunasi hutang kami, kami berhasil Re...!" Bian berkata begitu bangganya.
" Kami menyesal kamu ga bisa ikut, tapi kami yakin kamu pasti bangga !" Doni tersenyum.
Dia seakan - akan tau aku terharu mendengar ucapannya.
" Re, maafin kami, karena kami ga ada di sampingmu saat..." Ari tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Mereka menggantungkan sebingkai foto pada dinding kamarku...
" Re, ini buat kamu " Ari memandangi foto itu...." Puncak gunung itu Re..."
Puncak gunung yang membuat kami semakin mengerti arti Persahabatan.....
" Gunung itu juga Re yang membuat kami sadar, ya....membuat kami bisa menghargai sesama ".
" Dan, Re...itu rasa terima kasih kami, terlebih aku Re.." Bian menunjuk sebuah marmer yang bertuliskan namaku.
" In Memorian, Rengga Adhitya "


" Re, kamu memang teman yang setia " ucap Bian haru...
Doni kemudian mengeluarkan setangkai kecil bunga Edelweiss dari kantong bajunya. Ia meletakkannya diantara rangkaian bunga Edelweiss milikku.
" Re, ini mungkin ga seberapa, tapi ini yang hanya kami berikan ".....
" Ya....sebagai lambang persahabatan kita yang abadi ".
Ah...kalian. Walaupun kini kalian tak bisa melihatku dan mendengar suaraku bahkan menyentuhku....Namun aku dapat merasakan bahwa kalian masih sahabat - sahabatku yang setia.
" SEPERTI EDELWEISS" Lambang Cinta Abadi....Persahabatn kitapun ABADI.....






Penulis : Ryan Feriandri ~ Sebuah Webblog yang menyediakan berbagai macam Informasi dan Iklan

MATA
Artikel / Iklan Seperti Edelweiss ini dipublish oleh Ryan Feriandri pada hari . Semoga Artikel / Iklan ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.Bila Berminat silahkan Hubungi Nomor yang tertera di Artikel / Iklan tersebut.sudah ada 0 Komentar: di postingan Seperti Edelweiss
 

0 KOMENTAR:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.



TABLOID



Ryan.Feriandri666 - View my recent photos on Flickriver

TUMBLR